Bumi Allah, 30 Rajab 1435 H
Monolog rasa kian meradang
Menanti janji tak kunjung tiba
Terdengar sayup isak tangis
Dari palung samudera hati
“Kamu serius mau
melangkah ke Miitsaqan Ghaliiza?”
Pertanyaan
singkat itu, tiba-tiba saja membuat pandanganku bias, pikiranku kosong, perasaanku
berkecamuk, dan lisanku terkunci rapat.
Wajar saja aku seperti
itu, karena ini menyangkut tentang Miitsaqan Ghaliiza. Ya, Miitsaqan Ghaliiza
sebuah perjanjian yang amat kuat. Bayangkan saja, firman Allah SWT dalam Q.S
An-Nisa 4:21, memaknai Miitsaqan Ghaliiza itu merupakan suatu ikatan lahir dan
batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dengan
kata lain, perjanjian itu dilakukan pada saat proses akad nikah dan tiada lain,
tiada bukan adalah Ijab-Qabul.
Dimana Miitsaqan
Ghaliiza (perjanjian yang amat kuat) ini hanya ditemui tiga kali dalam
Al-Qur’an. Pertama yang disebut di atas, yakni menyangkut perjanjian antara
suami-istri, dan dua sisanya menggambarkan perjanjian Allah dengan para
nabi-Nya (Q.S Al-Ahzab 33:7) dan perjanjianNya dengan umatNya dalam konteks
melaksanakan pesan-pesan agama (Q.S An-Nisa 4:154).
Subhanallah,
begitu kuatnya janji yang diucapkan pada saat akad nikah (Ijab-Qabul).
Sampai-sampai disetarakan dengan perjanjian antara Allah SWT dengan Nabi Musa AS di bukit
thur. Dimana janji itu mampu mengguncang Arsy, membuat malaikat ikut mengamini,
dan Allah juga meridai.
Jujur pada waktu
itu, ada rasa tak terdefinisi. Bahagia, cemas, takut, gemetar, entah ada berapa
rasa lagi yang berhimpun menjadi satu. Sejenak, pikiranku melayang pada masa
yang akan datang, sekian detik kemudian kotak memori masa laluku pun terbuka.
Entah apa yang kucari. Mungkin sebuah keyakinan, bahwa tiba saatnya aku
memasuki zona Ijab-Qabul ini.
Sergapan rindu kian menderu
Gemuruh harap labuhkan cinta
Tertancap tegas mengikat jejak
Di atas tahta penantian ini
Dipikir-pikir
lucu juga ya, aku tidak bisa menjawab pertanyaan sesingkat itu. Padahal,
pertanyaan singkat “kapan nikah?” pun bisa kujawab. Meskipun, perlu memadukan antara
rasionalisasi hati dengan pikiran, dalam waktu yang cukup singkat untuk
menjawab pertanyaan itu kepada khalayak.
Betul, apa kata
Mas Gun panggilan dari Kurniawan Gunadi dalam cerita Mencari Tahu.
Tahukah kita? Seandainya
setiap orang paham bahwa mencintai bukan hanya soal waktu, soal keberanian,
atau soal kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bila setiap orang
sadar bahwa tidak semua perasaan itu harus dituruti. Tidak harus dikatakan.
Tidak harus ditindak lanjuti. Kan sudah aku bilang, urusan ini bukan sekedar
urusan waktu dan keberanian, tapi urusan keimanan dan ketaqwaan.
Tahukah kita? Terlalu
banyak orang kehilangan sabar. Tidak mampu memahami keadaan. Terlalu
terburu-buru mengungkapkan sesuatu. Tidak berpikir dua kali untuk
bertanya-tanya, “apakah kiranya Tuhan ridho dengan tindakannya?”
Tahukah kita? Pada
akhirnya orang yang bisa membersamai kita bukanlah dia yang lebih cepat atau
lebih lambat. Tetapi dia yang bisa mengiringi langkah kita. Langkah yang sama
jauhnya, sama pendeknya.
Janji ini menjelang semi
Menjadi elok di akhir kisah
Dalam koridor do’a yang terjaga
Syahdu dan khidmat menuju padaNya
Kini aku kembali
menata hati dan memperbaiki niat. Mencoba menghentikan berjuta sensasi dan
fantasi yang kembali mengendalikan pikiranku. Tak terasa, kini semakin dekat.
Dan seperti yang
kita ketahui bersama, “Bila titik penantian ini adalah sebuah ujian, tiada lagi
ekspresi rindu selain do'a yang kita panjatkan. Bertukar do'a di sepertiga
malam terakhir, selalu terjaga dalam mihrab taat.”
Maaf, maaf jika
aku terlalu berlebihan menanggapi hal ini. Mari kita kembali meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
Setidaknya,
lewat tulisan ini, mungkin kamu bisa menafsirkan, sekelumit rasa yang sedang
berkecamuk pada waktu itu hingga membuat raga ini terkulai lemah dan bibir ini
terbujur kaku.
Pria sederhana yang teramat jauh dari sempurna,
Iqbal Sujida Ramadhan