Bumi Allah, 28 Dzulhijjah 1436 H
“Beribu ombak laut tlah kulewati, namun gelombang rasa ini
terus menderu, tak pernah mengenal pasang-surut, seperti rinduku padamu di kala
purnama menampakkan siluetnya”
Kau tahu? Laut begitu luas bukan?
Bahkan, kita tak akan pernah tahu batasnya sampai mana. Bagiku, laut adalah
bejana untuk menampung rinduku padamu. Karena rinduku padamu memang tak
berbatas, layaknya langit yang tak kan pernah bisa dijangkau oleh tangan
manusia. Karena langit tak ada batasnya juga.
Dan apa kamu ingat, aku pernah menyebutmu
laut sebab sepasang bola mata milikmu semenenangkan biru? Ah, pasti kamu tidak
mengingatnya. Maka, biarlah aku mengajakmu kembali untuk membuka kotak pandora
yang sengaja aku titipkan padamu.
Bersama dengan terbukanya kotak pandora
itu, kamu akan kubuat melompat pada suatu masa dimana kakiku menginjak tanah
yang sama seperti kakimu. Judulnya, “Ketika kita bersama”, (mungkin) ini prolog
yang tepat untuk memulai ceritaku.
Ketika kita bersama, aku punya sekali
banyak lebam, bahkan kamu akan kerepotan untuk menyembuhkannya. Aku terlalu
rumit dalam banyak hal, yang memahami dan merapikannya, akan melelahkanmu. Aku
terlahir dengan fisik dan hati yang amat rapuh, mudah sakit dan mudah menangis,
lagi-lagi, itu hanya melelahkan. Pada saat itulah, aku membuat Allah bingung,
sebab denganmu aku berharap dijauhkan.
“Atas muara hati yang akan tertuju nanti, aku serahkan
padaMu, Rabb yang menciptakan semesta ini. Kini selamat menjadi yang bahagia,
dan selamat menemukan bahagia-bahagia lainnya. Beri aku langkah yang mudah,
untuk di hati menjadikanmu sesuatu yang lalu. Bukan pergi apalagi bersembunyi.
Aku hanya bergeser ke poros bumi yang lain, agar memandang punggungmu tak
seberharap dulu”
Aku ingin sekali merindukanmu tanpa
menyulitkan perasaanmu. Karena memang merindukanmu itu, tak membutuhkan syarat
dan alur birokrasi yang rumit, bukan?
Lalu, apa yang bisa aku lakukan untuk
merindukanmu? Menyapamu kah, sembari menanyakan “Bagaimana aktivitas kamu hari
ini?” atau “Adakah inspirasi yang dapat kamu bagikan kepadaku hari ini?”
Namun, seperti yang kamu tahu. Aku
memang tak pandai untuk memulai terlebih dahulu, karena aku salahsatu makhluk
yang diciptakan olehNya dengan keberanian yang begitu payah.
Seiring berjalannya mesin waktu, tanpa
harus aku dikte kembali disetiap ruas-ruasnya. Aku mulai mengerti, disaat aku
menulis, aku merasakan rindu yang begitu hebatnya padamu. Oleh karena itu, aku
memutuskan dengan cara seperti inilah aku merindukanmu. Tidak apa-apa kan?
“People fall in love in mysterious ways, and I just wanna
tell you I am ....”
Ya Rabb....
Jangan sampai hati ini telah menikah
dengan dunia dan seisinya. Aku tak ingin bercerai dariMu.
Biarlah semua perasaan ini tumpah
meruah dan cukup bermuara padaMu saja. Tidak pada yang lain.
Temani kesepianku di kala terik mentari
menggersangkan hatiku dan di kala lengkut sabit rembulan mencuri perhatian
pandangku.
Sudikah engkau kembali menerima do’aku,
“Ma Fii Qalbii Ghairullah... Tiada di hatiku melainkan Allah...”
Pria sederhana yang teramat jauh dari
sempurna,
Iqbal Sujida Ramadhan