Friday, 27 June 2014

Violet di 12 Juni

Bumi Allah, 29 Sya’ban 1435 H

Di hari ini, aku ingin menyapamu dengan cara lain, dengan cara yang tak biasanya, lewat tutur kata demi kata yang merekam jejak. Dan jadikanlah aku sebagai laki-laki yang terakhir, yang terakhir, ia yang terakhir menyapamu dan biarkanlah aku menjadi seorang laki-laki yang paling dikenang untukmu. Hahaha, sudah lupakan-lupakan. Aku tahu kok, perempuan sepertimu tidak akan mungkin terusik hatinya oleh laki-laki sepertiku.

Hei violet, aku dengar hari ini kamu sedang bahagia ya? Ia, bahagia. Karena semua sahabatmu memanjatkan doa-doa kebaikan untukmu. Semua sahabatmu memberikan hadiah terbaik untukmu. Orangtuamu menyiapkan hidangan masakan dengan citra rasa yang tak kalah hebatnya dari para koki yang ada di hotel bintang lima untuk menyambut kehadiranmu di rumah.

Hmmm, wajar saja orang-orang memperlakukanmu sebaik itu. Kamu perempuan yang baik hati sih, sampai-sampai aku hampir terpikat oleh pesonamu. Pesona manismu menjadi energi positif bagiku untuk terus memperbaiki diri. Bener gitu ga yaaa? Enggak lah, niatku untuk berhijrah, InsyaAllah untuk mengejar mahabbahNya, bukan untuk mendapatkan cinta dari para makhluk ciptaanNya. Kamu juga pasti begitu bukan?

Hei, hei, hei, sudah lah, sudaaah... Tak perlu kamu menyinggung tentang pesonaku. Sudah aku tegaskan bukan, hatiku tidak akan mungkin terusik oleh laki-laki sepertimu. Oke, baiklah. Kamu memang perempuan yang cukup keras untuk menanggapi hal ini. Tapi untuk kali ini aku sepakat denganmu, dengan begitu kamu akan lebih terjaga dari hal-hal yang dapat mengotori fitrah hati ini. Syukurlah kamu cepat menyadarinya. Dengan begitu aku semakin yakin, kamu lah laki-laki yang dipilih Allah untuk menjadi Qawwamku.

Ah, masa siiiih?!? Aku tidak pantas untuk menjadi Qawwammu. Hafalan ayat-ayat Qur’anku saja masih sedikit, apalagi kuantitas amalan-amalan yaumiku yang masih sedikit. Aku tegaskan imanku saja masih compang-camping. Hei violet, sudahlah lah sudaaah... Tidak semua perasaan harus dikatakan pada saat ini juga bukan? Simpan saja sampai waktu yang tepat, aku tetap menunggumu kok. Aku tidak akan menghilang darimu, temukan saja aku di langit, di dalam doa-doa panjatmu, di dalam harapanmu. Jemputlah aku di langit, sebab aku tahu, kamu mengenalku bukan karena ada dan rupa. Tapi karena doa kita yang telah bertemu sebelum kasih kita. Doa yang kau panjatkan, ketika Yang Maha Kasih turun disepertiga malam terakhir. Doa yang kau panjatkan, hingga dapat mengguncang ArsyNya.

Aku tahu, bahwa semua ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur tanpa sepengetahuanNya. Tidak ada satu semut hitam di dalam gelap pun yang luput dari penglihatanNya. Di sini, aku hanya ingin memahami apa yang terjadi dengan rasa ini. Apa sebenarnya yang membuat nama kita saling bertaut. Hanya itu.

Terlepas dari itu semua, dalam benak pikirku yang lain, aku meyakini, pendam rasa yang kita simpan adalah bentuk harap yang kini Allah berikan jawabannya. Semoga Allah menyampaikan usia di hari Miitsaqan Ghaliiza nanti.

By the way, Barakallah fii umrik, violet yang tak bisa disebut namanya disini. Maaf, begitu terlambat. Seperti biasa, aku selalu terlambat, terlambat untuk menyatakan rasa ini padamu. Karena aku kurang pandai dalam menerjemahkan rasa ini.


Pria sederhana yang teramat jauh dari sempurna,




Iqbal Sujida Ramadhan

Thursday, 29 May 2014

Miitsaqan Ghaliiza

Bumi Allah, 30 Rajab 1435 H


Monolog rasa kian meradang
Menanti janji tak kunjung tiba
Terdengar sayup isak tangis
Dari palung samudera hati


“Kamu serius mau melangkah ke Miitsaqan Ghaliiza?”

Pertanyaan singkat itu, tiba-tiba saja membuat pandanganku bias, pikiranku kosong, perasaanku berkecamuk, dan lisanku terkunci rapat.

Wajar saja aku seperti itu, karena ini menyangkut tentang Miitsaqan Ghaliiza. Ya, Miitsaqan Ghaliiza sebuah perjanjian yang amat kuat. Bayangkan saja, firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa 4:21, memaknai Miitsaqan Ghaliiza itu merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dengan kata lain, perjanjian itu dilakukan pada saat proses akad nikah dan tiada lain, tiada bukan adalah Ijab-Qabul.

Dimana Miitsaqan Ghaliiza (perjanjian yang amat kuat) ini hanya ditemui tiga kali dalam Al-Qur’an. Pertama yang disebut di atas, yakni menyangkut perjanjian antara suami-istri, dan dua sisanya menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (Q.S Al-Ahzab 33:7) dan perjanjianNya dengan umatNya dalam konteks melaksanakan pesan-pesan agama (Q.S An-Nisa 4:154).

Subhanallah, begitu kuatnya janji yang diucapkan pada saat akad nikah (Ijab-Qabul). Sampai-sampai disetarakan dengan perjanjian  antara Allah SWT dengan Nabi Musa AS di bukit thur. Dimana janji itu mampu mengguncang Arsy, membuat malaikat ikut mengamini, dan Allah juga meridai.

Jujur pada waktu itu, ada rasa tak terdefinisi. Bahagia, cemas, takut, gemetar, entah ada berapa rasa lagi yang berhimpun menjadi satu. Sejenak, pikiranku melayang pada masa yang akan datang, sekian detik kemudian kotak memori masa laluku pun terbuka. Entah apa yang kucari. Mungkin sebuah keyakinan, bahwa tiba saatnya aku memasuki zona Ijab-Qabul ini.


Sergapan rindu kian menderu
Gemuruh harap labuhkan cinta
Tertancap tegas mengikat jejak
Di atas tahta penantian ini


Dipikir-pikir lucu juga ya, aku tidak bisa menjawab pertanyaan sesingkat itu. Padahal, pertanyaan singkat “kapan nikah?” pun bisa kujawab. Meskipun, perlu memadukan antara rasionalisasi hati dengan pikiran, dalam waktu yang cukup singkat untuk menjawab pertanyaan itu kepada khalayak.

Betul, apa kata Mas Gun panggilan dari Kurniawan Gunadi dalam cerita Mencari Tahu.

Tahukah kita? Seandainya setiap orang paham bahwa mencintai bukan hanya soal waktu, soal keberanian, atau soal kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bila setiap orang sadar bahwa tidak semua perasaan itu harus dituruti. Tidak harus dikatakan. Tidak harus ditindak lanjuti. Kan sudah aku bilang, urusan ini bukan sekedar urusan waktu dan keberanian, tapi urusan keimanan dan ketaqwaan.

Tahukah kita? Terlalu banyak orang kehilangan sabar. Tidak mampu memahami keadaan. Terlalu terburu-buru mengungkapkan sesuatu. Tidak berpikir dua kali untuk bertanya-tanya, “apakah kiranya Tuhan ridho dengan tindakannya?”

Tahukah kita? Pada akhirnya orang yang bisa membersamai kita bukanlah dia yang lebih cepat atau lebih lambat. Tetapi dia yang bisa mengiringi langkah kita. Langkah yang sama jauhnya, sama pendeknya. 


Janji ini menjelang semi
Menjadi elok di akhir kisah
Dalam koridor do’a yang terjaga
Syahdu dan khidmat menuju padaNya


Kini aku kembali menata hati dan memperbaiki niat. Mencoba menghentikan berjuta sensasi dan fantasi yang kembali mengendalikan pikiranku. Tak terasa, kini semakin dekat.

Dan seperti yang kita ketahui bersama, “Bila titik penantian ini adalah sebuah ujian, tiada lagi ekspresi rindu selain do'a yang kita panjatkan. Bertukar do'a di sepertiga malam terakhir, selalu terjaga dalam mihrab taat.”

Maaf, maaf jika aku terlalu berlebihan menanggapi hal ini. Mari kita kembali meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Setidaknya, lewat tulisan ini, mungkin kamu bisa menafsirkan, sekelumit rasa yang sedang berkecamuk pada waktu itu hingga membuat raga ini terkulai lemah dan bibir ini terbujur kaku.


Pria sederhana yang teramat jauh dari sempurna,




Iqbal Sujida Ramadhan

Wednesday, 23 April 2014

Kepada kamu, duhai Dinda... (by: Iqbal Sujida Ramadhan)

Bumi Allah, 23 Jumadil akhir 1435 H


Kepada kamu, duhai Dinda yang kubutuhkan...

Tergerak langkahku mengikat bayangmu,
menerobos ruang rindu dulu dan kini
Tak peduli dengan kabut senja,
yang kutahu kini jarak telah luruh

Kepada kamu, Duhai dinda yang kuimpikan...

Alunan suara menyahut diriku,
menggetarkan bulir-bulir embun perasaan
Tak dikira akan seanggun ini,
mengisi bejana cinta dalam hati

Kepada kamu, Duhai dinda yang kubayangkan...

Menyulam mimpi merajut makna,
tentang kesungguhan hati yang tak terbantah
Pesona teduhmu buat hatiku tersipu,
tertawan dalam bingkai asmara

Kepada kamu, Duhai dinda yang kurahasiakan...

Derap hati yang tak pernah ingkar,
kisah rahasia bersemayam sejuk
Menepi di pelabuhan hati tertaut,
sebagai bukti atas janji suci

Kepada kamu, duhai dinda yang kunanti...

Bila titik penantian ini adalah sebuah ujian,
tiada lagi ekspresi rindu selain do'a yang kupanjatkan
Bertukar do'a di sepertiga malam terakhir,
selalu terjaga dalam mihrab taat

                

Monday, 7 April 2014

Hei Jagoan !!! Akhirnya Kalian Berhasil Membuat Aku Kangen Juga

Bumi Allah, 8 Rabiul akhir 1435 H

Sesampainya di SDN Cisitu
"Om Iqbal, hari ini mau ngajar kelas berapa?" tanya Maul, anak gembul kelas 3 yang innocent banget.
"Ngajar kelas limaaaaa" jawab aku dengan nada kekanak-kanakan.
"Yaahhhhh, kenapa ga di kelas tiga aja?" keluh Aay, laki-laki yang paling hyperactive di kelas 3.
"Soalnya, A Iqbal diminta ma kakak-kakak KKN yg lain buat ngajar bahasa sunda di kelas lima".
"Aaaaahhh, Ka Iqbal mah, udah di kelas tiga ajaa, ngajar matematika lagiiii" keluh Hendi, anak yang paling jago "nyekil" pake puisi-puisi ke teteh-teteh yang KKN.
"Udah dulu yaaaa, A Iqbal mau masuk kelas lima dulu" ujarku, sambil melempar senyum kepada mereka.

Babarengan kelas 3

Tiba di ruang kelas lima SDN Cisitu
"Sikap, beri salam !!!" seru Aga, ketua murid kelas 5 yang udah lancar baca Al-Qur'annya.
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh" sontak seluruh murid kelas 5.
"Wa'alaikumussalam ade-ade" jawab aku dengan penuh kasih sayang.
"A Iqbal maen game yukkk !!!" seraya murid kelas 5.
"Nah loh, sekarang kan waktunya belajar bahasa sunda" gumam aku dalam hati.

Babarengan kelas 5

Gusti nu agung, emang dasarnya anak-anak, bawaannya pengen maen muluuu...
Apoteker berkata lah, komuni-gaya komuni-kata lah, game konsentrasi lah, cap-guri-cap-guri-cap-cap-cap lah dan masih banyak lagi games dadakan yang kubuat pada waktu itu.
Tiba-tiba jadi kangen jagoan-jagoan ku nih, semoga jagoan-jagoan ku sehat selalu disana, ga banyak maen HP ma Tab mulu, nurut ma orang tua, rajin ke pesantrennya, jangan bolos mulu.

Tangan ini tak sempat untuk memeluk mereka, ya Rabb...
peluk mereka dalam dekap hangatMu.
Jemari ini tak sempat untuk menggenggam mereka, ya Rabb...
genggam mereka dalam ikat eratMu.
Raga ini tak sempat untuk menjaga mereka, ya Rabb...
jaga mereka dalam penuh kasihMu.

Yang selalu mencintai kalian karena Allah,
Mahasiswa KKN Unpad Desa Cisitu
Periode Januari-Februari 2014 



Iqbal Sujida Ramadhan

Friday, 17 January 2014

Pelangi dan Benang

Bumi Allah penuh dengan rindu, 16 Rabiul awal 1435 H 



Hai pelangi, apa kabar kalian hari ini ? Akhir-akhir ini kalian bersembunyi dimana ? Kalian hampir membuat aku benar-benar lupa bahwa selama masih ada hujan tentu saja ada pelangi.

Oh iya, aku juga ingin bercerita semoga saja sore ini hujan turun dengan anggun dan membawa kalian menghiasi bumi. Beberapa hari yang lalu aku beranjak dari tempat dudukku dan pergi ke suatu tempat, di tempat itu aku mendapatkan benang. Lantas aku ingin mengikat kalian agar tidak kehilangan keindahannya. Aku tahu, betapa banyaknya orang-orang yang berharap pelangi itu selalu ada untuk menghiasi bumi ini.

"Aku ingin berbisik pada seseorang dan menunjukkan realitanya. Pelangi tak akan pergi begitu saja meninggalkan aku. Berdoalah agar hujan selalu membasahi bumi, membasahi hati kalian dan melukiskan pelangi diwajah kalian."

Aku penuh harapan dan tetap tersenyum menyemangati diri sendiri. Agar aku bisa bertemu dengan kalian, pelangi.


Aku rindu kalian, pelangi. Semoga Allah bisa mempertemukan kita lagi dan berbagi kisah yang dapat menginspirasi negeri ini. Aamiin ya Rabb...

 

blogger templates | Make Money Online